”Jika Anda menemukan orang-orang yang kurang
menyukai Anda. Atau memperlakukan Anda dengan cara yang kurang pantas.
Mungkin mereka bukan membenci Anda. Mereka hanya belum mengenal siapa
Anda.”
Ada ungkapan tak kenal maka tak sayang. Ada
benarnya juga sih, meskipun kadang kita suka merasa ‘sayang’ kepada
orang yang tidak kita kenal, ya kan? Perkenalan kita dengan orang lain,
bisa berdampak baik. Bisa juga berdampak buruk. Bergantung dengan
siapa kita berkenalan. Sampai batas mana tingkat perkenalan kita. Dan,
bagaimana kita bersikap terhadap perkenalan yang sudah kita bangun.
Dalam interaksi kita dengan orang lain, kita sering mengalami pasang
surut. Kadang senang, kadang sedih. Bisa benci, cinta, sayang, sebal.
Apapun. Namun, dari sekian banyak dinamika itu; kita sering terjebak
untuk memberikan penilaian buruk kepada orang lain. Atau sebaliknya,
orang lain yang menilai kita buruk. Padahal, belum tentu penilaian itu
benar.
1. Setiap orang memiliki sisi baik.
Sesebel-sebelnya kita kepada seseorang, hal itu tidak menjamin jika diri
kita lebih baik dari orang itu. Jika tidak keberatan, silakan
ingat-ingat; siapa orang yang paling tidak Anda sukai? Anda tentu
mempunyai alasan untuk membencinya. Tetapi, sebaiknya sesekali Anda
berkaca kembali kedalam diri; apakah diri kita tidak memiliki sesuatu
yang bisa menjadi alasan bagi orang lain membenci kita juga? Jika sampai
sekarang semua orang masih menyukai Anda, bukan berarti Anda sempurna.
Mungkin karena mereka belum pernah Anda kecewakan. Mungkin diantara
Anda ada orang yang pernah saya kecewakan. Saya yakin orang itu tidak
menyukai saya. Tetapi, saya yakin benar jika sebagian besar orang yang
membaca tulisan ini tidak membenci saya. Mengapa? Karena saya baik?
Bukan. Itu karena mereka belum ‘merasakan’ efek dari keburukan saya.
Kepada saya, mungkin ada yang benci. Tapi, ada juga yang sayang. Yang
sekarang sayang pun, besok bisa ikut membenci; jika dia tahu ‘belangnya’
saya. Selain menunjukkan bahwa kita ini sama tidak sempurnanya dengan
mereka yang kita benci, juga menujukkan bahwa diantara keburukan setiap
orang; selalu terselip kebaikan mereka. Maka tantangannya adalah;
bagaimana kita bisa semakin mengasah dan mengkilapkan sisi baik itu,
sehingga sisi buruk kita semakin meredup. Kabar baiknya, itu adalah
proses. Jadi kita bisa melakukannya terus menerus.
2. Memahami sebelum memvonis.
Apa yang Anda lakukan jika ada orang lain yang salah sangka kepada
Anda? Orang itu keliru menilai Anda. Tentu Anda akan berusaha untuk
memberikan penjelasan atau mengklarifikasinya, bukan? Kita semua akan
berusaha meluruskan penilaian orang lain yang keliru tentang diri kita.
Begitu pula halnya dengan orang lain yang kita nilai buruk, akan
berusaha untuk membuat penilaian kita berubah menjadi baik. Mengapa?
Karena tidak seorang pun dimuka bumi ini yang rela dinilai buruk. Kita
memiliki kebutuhan intrinsic untuk dinilai baik, dan diterima oleh
lingkungan secara baik-baik. Apa yang terjadi ketika Anda menjelaskan
‘yang sebenarnya’? Orang lain akan memahami Anda. Apa yang terjadi
ketika orang lain menjelaskan ‘duduk perkaranya’? Anda akan memahami
mereka. Lalu, jika sudah ada pemahaman yang tepat itu apakah Anda masih
akan menvonis orang lain sebagai orang yang buruk? Ah, tentu tidak.
Karena sekarang Anda sudah memahami ‘apa yang sebenarnya’. Bahkan kepada
seseorang yang nyata-nyata berbuat kesalahan pun kita bisa
memakluminya jika kita memahami ‘mengapa’ mereka sampai melakukannya
kan? Kita memaafkannya, meski dengan catatan; ‘jangan mengulanginya
lagi’. Atau ‘lain kali kamu minta izin dulu dong…’. Atau, ‘kenapa kamu
tidak terus terang sih sama saya?’ Maka mulai sekarang, kita perlu
mendahulukan proses ‘memahami’, supaya tidak sembarangan ‘memvonis’
orang lain.
3. Waspada terhadap perilaku yang membahayakan.
Meski kita percaya bahwa setiap orang memiliki sisi baik, namun
kadang-kadang orang bertemu dengan kita dalam keadaan ‘buruk mode on’.
Kalau sekedar buruk perilaku, mungkin kita bisa memakluminya. Tetapi,
kalau buruknya bisa membahayakan, ya tentu kita harus bisa melindungi
diri. Maka kewaspadaan tetap menjadi piranti yang sangat penting. Justru
berbahaya sekali jika kita tidak waspada. Bukan curiga loh, tapi
waspada. Bahkan terhadap teman sekalipun. Bukankah banyak kejadian yang
membahayakan justru datang dari orang-orang terdekat kita? Istri
waspada pada suami yang ringan tangan juga bagus. Atau, suami yang
waspada pada istri yang tingkahnya aneh. Kepada teman yang terlalu
royal, Anda juga perlu waspada. Karena kewaspadaan bisa mencegah
terjadinya sesuatu yang tidak baik. Konon katanya, para pencopet pun
tidak berani mengusik orang yang waspada. Ya, kira-kira begitu jugalah
untuk keburukan-keburukan lain yang bisa saja dilakukan oleh orang lain
kepada kita. Dengan kewaspadaan itu, kita tidak memandang buruk orang
lain. Tetapi juga tidak lengah terhadap kemungkinan buruk yang bisa
terjadi.
4. Keburukan bisa menjadi guru kebaikan.
Jika seseorang melalukan perbuatan buruk, bukan kepada Anda; apa yang
Anda lakukan? Teman saya misalnya, sangat benci sekali kepada
seseorang. ‘Emangnya apa yang sudah dia lakukan sama elu?’ begitu saya bertanya. “Enggak ada.” Katanya. Lho? Aneh ya? Kita membenci orang lain yang tidak melakukan apapun pada kita. “Gue semek aja sama kelakuannya,” katanya
lagi. Kita sering membenci pribadi seseorang bukan karena mereka
mengusik diri kita. Apa urusan kita, kan? Anda boleh memberi perlawaan
kepada orang-orang yang memperlakukan Anda buruk. Tetapi pada orang yang
tidak mengusik Anda? Jikapun orang itu perilakunya buruk kepada orang
lain, maka cukuplah kita jadikan hal itu sebagai guru untuk
meningkatkan nilai kebaikan kita. Misalnya, jika Anda tidak suka
perilaku buruk tertentu teman Anda, maka Anda punya cermin agar jangan
sampai melakukan keburukan yang sama. Coba perhatikan orang-orang
disekitar Anda. Banyak yang perilakunya kurang baik. Menggunakan BB
untuk merayu istri orang. Meminjam uang tapi ogah bayar. Mencedrai
kepercayaan pasangannya. Mengambil yang bukan haknya. Kita tidak perlu
ikut membenci pribadi mereka. Tetapi, kita bisa jadikan
keburukan-keburukan yang mereka lakukan sebagai pelajaran dan energy
yang menguatkan kita untuk istikomah atau teguh dalam nilai-nilai
kebaikan.
5. Bukan kita yang berhak menilai.
Bahkan para penyidik dan jaksa pun bisa salah dalam menilai orang lain.
Apalagi yang memang sengaja dibuat salah atau diputarbalikkan faktanya.
Kita? Lebih bisa salah lagi dalam menilai. Faktanya kita tidak
memiliki kemampuan untuk menilai secara obyektif dan akurat, kok.
Makanya, kita tidak diberi hak untuk menilai orang lain. Jika bukan
kita yang menilai lantas siapa yang mengontrol perilaku orang? Kenapa
pusing. Sudah ada staff khusus yang ditugaskan Tuhan untuk melakukan
pengawasan melekat atas perilaku, tindak tanduk, dan tingkah polah
setiap pribadi. Tuh, disebelah kanan Anda; Ada petugas pencatat amal
baik. Dan disebelah kiri Anda? Ada petugas yang tanpa kompromi menulis
keburukan apapun yang Anda lakukan. Mereka tidak pernah lengah. Bahkan
disaat semua orang sedang pada tidur. Jadi, jika kita merasa bisa
menunggu orang lain lengah baru melakukan tindakan buruk, kita salah
besar. Jika kita merasa bisa menyembunyikan barang bukti, kita keliru.
Oh, betapa petugas yang Tuhan pilih itu tidak pernah henti mengawasi
gerak-gerik kita. Hal ini memberi kita 2 kesadaran. Pertama, betapa
kita tidak memiliki ruang untuk berbuat buruk tanpa ketahuan. Kedua,
betapa kita tidak memiliki hak untuk menilai baik buruknya orang lain.
Maka, jika orang lain buruk, tak perlu pusing; dia akan
mempertanggungjawabkan keburukannya. Dan jika kita yang buruk? Ehm,
orang lain mungkin tidak tahu. Tapi petugas jaga Tuhan? Menyaksikan
hingga setiap detailnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar